APA pun jenis perjalanannya, bekal yang paling baik tentu saja adalah bekal ketakwaan. ”Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (Al Baqarah 197). 
Ibadah umrah merupakan ibadah yang membutuhkan cukup persiapan, terutama ­bagi yang baru pertama kali melaksanakannya. Bukan hanya persiapan materi, tetapi ­juga persiapan fisik dan mental agar seluruh rangkaian perjalanan dan ibadah dapat dilalui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. 
Selain niat yang suci murni, guna memenuhi panggilan Allah, kesiapan ilmu ­juga menjadi mutlak dimiliki. Bimbingan ibadah dalam manasik yang hanya 2-3 jam tentu tidak mungkin cukup untuk menyempurnakan perjalanan ibadah umrah. 
Selain pengetahuan mengenai syarat dan rukun, serta tata cara pelaksanaan umrah, ada baiknya pula diperkaya dengan pengetahu­an mengenai keragaman dalam pelaksana­an tata cara ibadah. Hal ini penting mengingat dalam realitasnya ketika beriba­dah umrah harus bercampur dengan berbagai bangsa yang ­tentu saja memiliki pemahaman masing-­masing yang berbeda pula. Kesiapan ilmu, ­insyaallah akan menuntun sikap toleran­si jika dihadapkan kepada perbedaan.
Bekal lain yang tak kalah pentingnya adalah kesiapan mental. Mulai membiasakan diri salat rawatib, tahajud, duha adalah contoh kecil dari persiapan mental. Ada baiknya memotivasi diri dengan berbagai target. Berkali-kali penulis ­menyertai jemaah, ada yang menargetkan khatam Alquran dalam tujuh malam, ada pula yang membuat target untuk tidak salat fardu kecuali di Masjidilharam, bahkan ada pula yang ­membuat ­target untuk tidak ­beraktivitas di ­luar Masjidilharam ­kecuali untuk mandi dan makan saja. 
Untuk yang terakhir ini, seluruh waktunya ia habiskan di masjid saja, hanya bertemu di ruang makan atau sekadar berganti pakaian. Bekal niat yang murni, bekal ilmu yang luas dan bekal kesiapan mental merupakan ­fondasi utama untuk merangkai bekal ketakwa­an yang kokoh.
Perbekalan yang bersifat teknis tentu juga jangan disepelekan. Sulit untuk mencapai sesuatu yang ideal tanpa didukung oleh ke­siapan teknis yang tertib, rapi, dan matang. ­Kesiapan beribadah selama di Tanah Suci, bukan tidak mungkin menjadi berantakan karena persoalan-persoalan teknis. 
Oleh karena itu, sebelum berangkat bahkan sebaiknya sebelum deal mengikuti travel ­tertentu, ada baiknya dipahami betul jadwal kegiatannya. Setelah itu, cari tahu mengenai suhu/cuaca di Tanah Suci, kenali sejak awal nama, jarak, fasilitas hotel yang diberikan ­termasuk konsumsi tentunya, dan suasana terkini di seputar Masjidilharam  dan Masjid Nabawi. Bekal pengetahuan ini insyaallah akan menuntun jemaah untuk memilih, memilah, dan menentukan perbekalan apa yang harus di bawa ke Tanah Suci.
Perbekalan pakaian misalnya, 9 hari perjalanan tentu bukan berarti memerlukan 9 ­setel pakaian lengkap, karena dari 9 hari itu ada waktu lebih kurang sehari semalam harus berpakaian ihram, ketika berangkat dan ­pulang harus berpakaian seragam. Kalau di tanah air kebiasaan masuk ke masjid itu memakai sarung, selama di Tanah Suci  sarung menjadi tidak perlu. 
Sebagai gambaran, perbekalan pakaian pria adalah 3 lembar celana panjang, 3-4 baju koko, kain ihram lengkap dengan sabuknya, 2 lembar kaus oblong, 1 buah jaket (jika musim ­dingin), peci, sepasang sandal jepit, sepasang sepatu atau sandal sepatu, gunting kecil (per keluarga), keperluan mandi (sabun, sampo, pasta dan sikat gigi, gunting kuku dan pencukur rambut/bulu). 
Bagi kaum wanita, 3-4 ­setel baju sehari-hari, 1-2 setel mukena, ­beberapa lembar kaus tangan dan kaus kaki, baju ihram (putih), baju tidur, 1 buah jaket ­(jika musim dingin), sandal jepit, 1-2 pasang sepatu, keperluan mandi dan alat kecantikan seperlunya.
Mengenai obat-obatan sebaiknya selalu dikonsultasikan dengan dokter. ­Namun, bawalah obat-obat yang biasa ­digunakan ­untuk penyakit ringan yang biasa menyerang seperti obat batuk, flu dan sakit kepala, atau obat resep dokter yang biasa dikonsumsi. 
Soal makanan, di Tanah Suci ­sebenarnya sudah banyak makanan instan khas Indonesia yang terjaja di toko-toko di dekat penginapan. Sekadar jaga-jaga selera, bawalah makanan yang memang sangat ketergantungan. Misalnya kecap kalau memang tidak bisa makan tanpa kecap. Jangan lupa, sebelum berangkat, berpamitan kepada keluarga, saudara dan tetangga terdekat, insyaallah doa mereka adalah bekal yang sangat berharga.***


Aep Saefullah

Artikel ini telah diterbitkan di HU Pikiran Rakyat 22-01-2019