Di tengah lesunya perjalanan umrah dan umumnya dunia traveling, sebagai dampak Covid-19, Qiblat Tour Islami di akhir September ini menawarkan paket ”Jumatan di Hagia Shopia”. Primadona baru bagi dunia travel, setelah 10 Juli 2020 pengadilan tinggi negeri Turki membatalkan keputusan tahun 1934 tentang status museum yang selama ini melekat dengan Hagia Sophia.
Bagi siapa pun yang pernah berkunjung ke tempat ini tentu hal tersebut memunculkan rasa penasaran yang tinggi. Mengingat perubahan status dari museum menjadi masjid akan memungkinkan terjadinya perubahan interior yang sangat signifikan. Mungkinkah ikon-ikon agama Kristen yang terdapat di dalam bangunan ini akan sirna?
Ketika penulis berkunjung dan masih berstatus museum, ornamen dan mozaik khas Kristen Ortodoks, seperti Lukisan Constantine XI Monomachos dan Augusta Zoe, demikian juga gambar seorang wanita yang konon itu adalah sosok Bunda Maria yang sedang memangku Yesus, masih terlihat jelas di antara ornamen dan kaligrafi Islam warisan Turki Utsmani (Othoman).
Sebelum perubahan status, Hagia adalah salah satu tempat yang menyedot kunjungan wisatawan paling tinggi di Turki. Sekitar 3,3 juta wisatawan sengaja berkunjung ke tempat indah, megah, gagah, dan bersejarah ini.
Betapa tidak, Hagia Sophia mulanya memang dibangun sebagai Church of Holy Spirit atas perintah Kaisar Bizantium Justinian I pada abad ke-6. Beberapa pilar penyangga dalam bangunan tersebut diambil dari Ephesus dan Kuil Artemis. Hagia Sophia juga merupakan salah satu dari katedral terbesar di dunia yang memiliki makna khusus bagi komunitas Orthodox. Keindahan dan kemegahan Hagia Sophia adalah lambang arsitektur Bizantium.
Pada 1453, Konstantinopel ditaklukkan oleh Utsmani di bawah kepemimpinan Sultan Mehmed II, penguasa muda (masih berusia 21 tahun) ketujuh Dinasti Utsmani yang lebih dikenal dengan sebutan Muhammad al Fatih (penakluk). Tidak sedikit yang menghubungkan sosok al Fatih dengan bisyarah Rasulullah saw: ”Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, sebaik-baik amir (pemimpin) adalah amir yang memimpin penaklukannya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.” (HR Ahmad).
Setelah bersujud syukur atas keberhasilannya meruntuhkan kekuasaan yang sudah bercokol sebelas abad itu, al Fatih menyulap Hagia Sophia menjadi masjid, tepatnya mulai 29 Mei 1453. Setelah itu, arsitektur pada Hagia Sophia banyak mengilhami pembangunan masjid-masjid di masa kejayaan Utsmani, seperti Masjid Biru, Masjid Sehzade (pangeran), maupun Masjid Ali Pasha. Fungsi Hagia Sophia sebagai masjid utama di Istanbul selama kurang lebih 480 tahun berakhir di tangan Musthafa Kemal Ataturk, yang banyak dikecam sebagai sosok sekuler. Ia mengubahnya sebagai museum sejak 1935. Mengingat panjang dan berlikunya perjalanan sejarah Hagia Sophia, UNESCO menetapkannya sebagai situs warisan bersejarah.
Kebijakan pemerintah Turki masa Ataturk yang sudah berjalan selama lebih kurang 86 tahun ini dibatalkan oleh pemerintah Turki di bawah sosok yang juga fenomenal dan berani, yaitu Recep Tayyip Erdogan. Oleh karena itu, setidaknya, Hagia Sophia telah melahirkan tiga sosok fenomenal dunia yaitu al Fatih, Ataturk, dan Erdogan. Bagi wisatawan, sejarawan dan traveler sejati, ketiga sosok ini akan merusak dan menghantui mimpi-mimpi indahnya sebelum melihat dan menikmati jejak petualangan mereka.
Sekalipun difungsikan sebagai masjid seperti masa sebelum 86 tahun lalu, Erdogan berjanji kepada dunia untuk tetap melestarikan dan tidak mengurangi apa yang sudah melekat dengan Hagia Shopia. Konon, semua ikon, ornamen, dan situs yang melekat dengan komunitas ortodoks di dalam bangunan bersejarah itu akan tetap berada di tempatnya.***
Dikdik Dahlan Lukman
Artikel ini telah diterbitkan di HU Pikiran Rakyat 08-09-2020
Dikdik Dahlan Lukman
Artikel ini telah diterbitkan di HU Pikiran Rakyat 08-09-2020