Seiring berjalannya waktu, tidak terasa kini sudah berada di bulan suci Ramadan tahun 1438 H. Bagi penulis, Ramadan tahun kemarin (1437 H) seolah baru saja berlalu serta menyimpan kesan dan kerinduan yang begitu mendalam dan sulit dilupakan. Pada Ramadan tahun lalu penulis mendapat amanah membimbing jemaah untuk umrah ke Tanah Suci.
Pada bulan Ramadan, bagi negara-negara Arab Saudi dan sekitarnya merupakan liburan tahunan mereka. Mereka libur selama sebulan penuh sehingga tak jarang mengisi liburannya itu. Mereka konsentrasi beribadah di dua Tanah Suci, yaitu di Mekah dan Madinah. Kondisi itu pula yang mengakibatkan visa dan biaya umrah menjadi agak mahal bagi jemaah Indonesia yang berangkat umrah pada bulan Ramadan. Semakin mendekati akhir Ramadan biaya umrah biasanya semakin mahal, bahkan harganya itu bisa berubah-ubah per hari. Dengan risiko yang cukup tinggi itu, tidak banyak travel umrah yang berani membuka program umrah Ramadan. Pada bulan Ramadan, kami juga merindukan kondisi Masjidilharam dan Masjid Nabawi (Haramain) yang setiap saat selalu penuh dan tidak pernah sepi dari orang-orang yang beribadah. Bahkan, di sepuluh akhir Ramadan tahun kemarin, dikabarkan jemaah yang memadati Haramain mencapai enam juta jiwa manusia. Subhanallah! Jumlah ini tentu melebihi jumlah jemaah haji dari tahun sebelumnya. Ketika jemaah berada di Masjid Nabawi (Madinah), agar bisa sampai ke Raudah dan berziarah ke makam Rasulullah saw, terasa sangat sulit karena saking berjubelnya jemaah yang memadati Masjid Nabawi. Pun halnya ketika jemaah berada di Masjidilharam (Mekah) untuk melaksanakan tawaf sunah serta merapat sekitar Kabah seperti ke Hijir Ismail, Rukun Yamani, Multazam, dan Hajar Aswad, perlu persiapan tekad, keberanian, perjuangan, dan tenaga yang luar biasa.
Ketika masuk sepuluh akhir Ramadan, kondisi Haramaian menjadi semakin padat lagi dengan kegiatan itikaf. Terlebih pada tanggal-tanggal ganjil, dengan mayoritas umat Islam meyakini akan datangnya malam lailatulkadar. Pada saat itu jemaah setiap hari dan setiap malam memilih bertahan itikaf di Haramain yang diisi dengan berbagai kegiatan seperti salat wajib dan salat sunah, tadarus Alquran, zikir, wirid, muhasabah, dan taklim. Jika mereka merasa sedikit kelelahan, jemaah juga istirahat (tidur) di tempat ibadahnya itu. Begitulah rutinitas kegiatan sehari-hari jemaah di penghujung/sepuluh akhir Ramadan.Kemudian bila waktu magrib tiba, jemaah juga tidak usah repot-repot menyediakan makanan dan minuman untuk berbuka puasa. Justru jemaah akan mendapatkan makanan dan minuman begitu melimpah ruah yang dibagikan secara cuma-cuma alias gratis. Di bulan Ramadan, para saudagar kaya Arab Saudi berlomba-lomba bersedekah dengan menjajakan makanannya seperti kurma, roti, buah-buhan, susu, teh, nasi kotak dan makanan, serta minuman. Mereka itu melakukan semata-mata hanya untuk memanjakan kaum Muslimin yang akan berbuka puasa dan santap sahur. Atas situasi dan kondisi itu, ada salah seorang jemaah yang berseloroh, ”Ustaz, rupina umrah di bulan Ramadan mah teu nyandak bekel oge moal sieun kalaparan.” (Ustaz, sepertinya umrah di bulan Ramadan tidak membawa makanan juga tidak takut kelaparan).
Ketika menjelang malam Idulfitri, jemaah tetap memadati haramaian. Namun, tidak ada program takbiran bersama seperti di Indonesia. Bahkan, menjelang Idulfitri budaya di Arab Saudi itu tidak ada hal-hal yang istimewa, seperti di Indonesia. Kalau di Indonesia menjelang idulfitri disibukkan dengan membeli baju baru, mudik ke kampung halaman, membuat ketupat, opor ayam, dan hidangan-hidangan enak lainnya. Menjelang Idulfitri, di Arab Saudi biasa-biasa saja, tidak ada persiapan yang istimewa. Kemudian ketika Idulfitri tiba, setelah salat Subuh jemaah, bergegas menuju Haramaian. Bahkan, banyak di antara jemaah selepas salat Subuh tetap bertahan di masjid menunggu tiba salat dan khotbah Idulfitri.Ada perbedaan cukup signifikan, antara budaya di Arab Saudi dan Indonesia selepas salat dan khotbah Idulfitri. Di Indonesia, selepas salat dan khotbah Idulfitri meriah sekali yang diisi dengan kegiatan-kegiatan seperti kumpul bersama keluarga, makan bersama, dan bersuka ria. Setelah itu, saling bersilaturahmi ke saudara dan tetangga dan saling berbagi makanan. Bahkan, menziarahi kuburan anggota keluarganya yang telah tiada. Tradisi seperti itu di Arab Saudi tidak ada, tidak seramai dan semeriah budaya di Indonesia. Budaya di Arab Saudi, selepas salat dan khotbah Idulfitri, jemaah langsung pulang ke rumah atau hotel mereka masing-masing. Dalam kondisi seperti itu, penulis bersama jemaah hanya bisa membayangkan indahnya suasana Idulfitri yang biasa dirayakan di Indonesia. Perasaan haru dan sedih betul-betul terasa, ketika itu pula ada kerinduan pulang ke tanah air dan berkumpul bersama keluarga besar.
Namun demikian, perasaan itu hanya bertahan sehari. Besoknya jemaah sudah bisa konsentrasi lagi beribadah di Tanah Suci. Setelah Idulfitri, kegiatan di Haramain tidak lagi sepadat pada bulan Ramadan. Karena sebagian dari jemaah sudah banyak yang pulang ke kampung halaman mereka masing-masing. Ya Allah, begitu rindu umrah di bulan Ramadan dan Syawal. ***
Yaya Sunarya
Artikel ini telah diterbitkan di HU Pikiran Rakyat 06-06-2017
Yaya Sunarya
Artikel ini telah diterbitkan di HU Pikiran Rakyat 06-06-2017