Totalitas Ibadah Haji dan Umrah
Alim ulama memberikan motivasi yang tinggi dalam beribadah dengan salah satu kaidahnya yang berbunyi, ”hayaatunaa kulluhum ‘ibadah” (semua hidup kita mengandung nilai ibadah). Hal tersebut juga diperkuat dengan firman Allah SWT. ”Wamaa khalaqtul jinna wal insa illaa liya’buduun” (tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah kepada-Ku).
Kata kunci yang patut dipertahankan adalah ibadah. Apa pun bentuk kegiatan kita mulai bangun tidur sampai tidur lagi mengandung nilai ibadah. Kendati demikian, ulama pun memberikan persyaratan yang relatif ketat apakah kegiatan itu mengandung nilai ibadah atau tidak. Jangan-jangan selama ini perbuatan kita anggap sebagai ibadah, tetapi sama sekali tidak mengandung nilai ibadah di sisi Allah SWT. Justru sebaliknya, sesuatu yang dianggap biasa saja, justru mengandung nilai ibadah yang luar biasa. Sesuatu yang mengandung nilai ibadah bukan saja sebatas ”menggugurkan” kewajiban atau sebatas melaksanakan rutinitas ritus, tetapi juga memiliki implikasi positif dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini, kita patut renungi bersama apakah salat, saum, zakat, dan haji/umrah kita sudah benar-benar mengandung nilai ibadah atau tidak.
Pertama, niat yang berfungsi membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya atau membedakan antara ibadah dan kebiasaan. Niat juga untuk membedakan tujuan seseorang dalam beribadah dan keinginan hati untuk melakukan suatu amalan. Niat merupakan perkara yang amat penting dalam Islam. Sampai-sampai Rasulullah saw mengabarkan segala amal perbuatan itu tergatung pada niat pelaku. Seorang mendapatkan buah dari amalannya sesuai keadaan niat dalam hatinya. Dalam sebuah hadis yang masyhur, disampaikan sahabat Umar bin Khattab, Nabi Muhammad bersabda, ”Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari & Muslim).
Oleh karenanya, para ulama memberikan perhatian cukup besar terhadap perkara niat ini. Sampai-sampai mereka mengarang sebuah kitab yang hanya membahas permasalahan niat. Sebut saja Abu Bakar bin Abid Dunya yang mengarang sebuah kitab yang khusus membahas permasalahan ini, yakni Al-Ikhlas wan Niyyah (ikhlas dan niat). Ini menunjukkan niat tak bisa dipandang sebelah mata. Seseorang akan menyadari urgensi niat bila mengerti betapa besar fungsi niat ini. Dalam konteks haji dan umrah, Allah SWT secara spesifik menegaskan dalam firmannya, ”waatimmul hajja wal ‘umrata lillah” (sempurnakan haji dan umrah hanya karena Allah). Untuk meluruskan niat, Qiblat Tour selalu mempertegas dalam setiap kegiatan manasik baik di tanah air maupun ketika di Tanah Suci. Kegiatan manasik dilakukan baik secara teoritis maupun praktis manasik.
Kedua, kaifiyyat yang berhubungan dengan tata cara ibadah. Kita sering dihadapkan pada ragam ibadah yang berbeda satu dengan lainnya. Namun, ketika telah mengikrarkan syahadat Muhammad Rasulullah, maka yang semestinya terpatri di benak kita adalah meneladani Rasulullah dalam segenap aspek dan tata cara ibadah, termasuk berhaji atau umrah (khudzuu ‘annii manaasikakum). Pergi ke Tanah Suci merupakan karunia Allah SWT yang menjadi dambaan setiap Muslim. Predikat haji mabrur yang tiada balasan baginya kecuali Al-Jannah (surga) tak urung menjadi target utama dari kepergiannya ke Baitullah. Namun, mungkinkah semua yang berhaji ke Baitullah dapat meraihnya? Tentu jawabannya mungkin, bila terpenuhi dua syarat. Yakni, dalam menunaikannya benar-benar ikhlas karena Allah bukan karena mencari pamor atau ingin menyandang gelar ”pak haji” atau ”bu haji/hajah”. Persyaratan lainnya menunaikan sesuai dengan tuntunan Rasulullah.***
Aden Rosadi
Artikel ini telah diterbitkan di HU Pikiran Rakyat 29-11-2016