Totalitas Pengabdian di Haramain

PERJUANGAN Nabi Muhammad saw di Mekah dan Madinah ­menjadi teladan umat dan peradaban manusia. Misalnya piagam Madinah, yang menjadi --salah satunya-- deklarasi hak asasi ­manusia yang ­kerap menjadi rujukan peradaban manusia yang monumental. Demikian pula peristiwa futuh Mekah yang berlangsung pada 10 ­Ramadan 8 Hijriah, sebagai peristiwa bersejarah lain.
Totalitas komitmen pada kesepakatan di perjanjian Hudaibiyah menjadi pemantik peristiwa futuh Mekah. Dua kota itu yakni Mekah dan Madinah, disebut oleh Azyumardi Azra sebagai pusat penyebaran gagasan reformasi Islam sejak abad ke-17. Oleh karenanya, dari dua tanah haram (haramain) itulah menyebar pemahaman atas sumber ajaran Islam yang multiperspektif.
Tawaf adalah salah satu rukun haji dan umrah yang hanya berlaku di tanah Mekah, tepatnya di Masjidilharam. Kemudian dari tawaf itulah manusia diperkenan­kan untuk memaknai berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Misalnya, bagaimana kita memahami benar bahwa hidup dan kehidupan senantiasa berputar dan bergerak. Semakin baik dan benar manusia berputar dan bergerak, semakin besar kemungkinannya mendapatkan the ultimate goal.
Multazam adalah tempat yang dijanjikan Rasul sebagai tempat yang makbul, sebagaimana yang diriwayatkan al-Baihaki dari ibn Abbas yang artinya: ”Antara rukun Hajar Aswad (sudut tempat terdapatnya Hajar Aswad) dan pintu Kabah disebut Multazam. Tidak ada orang yang meminta sesuatu di Multazam melainkan Allah mengabulkan permintaan itu.”
Berdoa di Multazam menjadi prioritas bagi yang berziarah ke Mekah. Tidak ada perdebatan tentang hal tersebut, bahwa setiap orang yang sadar akan keimanannya akan semaksimal mungkin memastikan doanya terucap di Multazam.
Bukit Safa dan bukit Marwa menjadi saksi perjuangan Siti Hajar. Totalitas menunaikan perintah Allah swt yang disampaikan me­lalui Nabi Ibrahim as, dibuktikan dengan kesediaannya bersama bayi Ismail ditinggalkan di antara dua bukit itu. Interpretasi tentang perjalanan dari Safa ke Marwa yang diikuti sosok Siti Hajar sa­ngat beragam. Ada yang melihat dari perspektif Siti Hajar, Nabi Ibrahim, atau memaknai dari proses perjuangannya. Seluruhnya merupakan bentuk dari kesediaan untuk taat pada perintah Allah dan mencontoh dari Rasul-Nya.
Demikian pula Raudah atau ta­man surga sebagai tempat yang makbul di Masjid Nabawi. Dengan demikian, hati akan merasa tenang jika mampu menumpahkan doa dan harapan di tempat tersebut. Jutaan orang bersikukuh tidak mau beranjak, dan menunggu gilir­an untuk dapat berada di taman surga.
Tidak ada pangkat dan jabatan yang membuat manusia merasa paling terhormat di tempat tersebut. Semuanya bersimpuh meng­ucapkan doa agar apa yang dihajatkan dapat terwujud.
Totalitas pengabdian pada tempat-tempat di dua tanah haram tersebut, tidak dapat dinikmati oleh setiap umat manusia. Berbahagialah bagi orang-orang yang dapat mengunjungi (berziarah), umrah, ke tempat tersebut. 
Karena hati manusia akan menyatakan bah­wa kenikmatan dan ke­nya­man­­an berdoa adalah pada tempat tersebut. Oleh karenanya, setiap mukmin Muslim se­nantiasa mengharapkan kunjung­an yang kese­kian kali.
Lebih dari itu, memaknai totalitas pengabdian kepada Allah bu­kan saja ”hanya” diaplikasikan di tempat tersebut. Namun, harus mampu dilaksanakan sekemampuan kita di lingkungan terkecil kita. Dengan demikian, suasana keba­tinan yang nikmat dan nyaman dapat terwujud bukan saja di haramain, juga di tanah air kita. Wallahualam.***

Dindin Jamaluddin
Pembimbing Haji Khusus dan Umrah Qiblat Tour, dan Dosen UIN Bandung

Artikel ini telah diterbitkan di HU Pikiran Rakyat 07-01-2020