Melaksanakan ibadah umrah di bulan Ramadan adalah sangat utama. Karena Ramadan adalah bulan penuh berkah, bulan dengan seluruh amalan dilipiatgandakan menjadi 70 kali lipat dari bulan-bulan lainnya. Bulan penuh rahmat atau kasih sayang Allah diturunkan seluas-luasnya di bulan ini, dan merupakan bulan ampunan bagi para hamba-Nya. Bulan ini juga terdapat satu malam yang lebih baik dari 1.000 bulan, yakni yang dinamakan Lailatulkadar.

Oleh karenanya, umat Islam berduyun-duyun untuk bisa hadir melaksana­kan umrah di bulan Ramadan ini. Tidak heran jika Masjidilharam sa­ngat padat. Di saat dilakukannya se­luruh rangkaian ibadah, mulai da­ri salat berjemaah, tawaf, sai, sa­lat Tarawih, membaca Alquran, iti­kaf, kawasan tersebut penuh sesak.

Begitu juga ketika hendak datang waktu berbuka puasa. Semenjak se­­­lesai salat Asar secara berjemaah, mulai dipersiapkan ”alaqah-ala­qah” yang akan digunakan untuk buka puasa bersama. Di ber­bagai sudut terlihat jemaah yang  mulai bekumpul untuk buka bersama.

Di saat azan magrib dikumandangkan, jutaan umat Islam buka bersama dengan hidang­an air zam-zam, kurma, ashir, atau bahkan de­ngan nasi bukhari. Hidangan-hidangan tersebut diletak­kan di atas plastik memanjang. 

Terdapat dua faktor yang menyebabkan umrah Ramadan begitu nik­­mat. Pertama, qalban syaakiran (hati yang selalu bersyu­kur). Artinya, meyakini sepenuh hati bah­wa segala nikmat yang diperoleh merupakan karunia ­Allah. Ti­dak ada ra­sa khawatir atau takut kehilangan nikmat yang telah di­peroleh. Karena kita meyakini bahwa Allah yang memberikan nikmat dan karunia-Nya, maka Dia berhak pula untuk mengambilnya kembali jika Dia menghendaki.

Imam Al-Qurthubi menjelaskan kesadaran dan penghayatan akan nikmat dan karunia Allah ini akan memberikan perasaan nikmat da­lam hati yang jauh lebih tinggi da­ripada perasaan nikmat yang di­timbulkan dari kepemilikan seluruh harta yang ada di alam ini. Terlebih jika melihat pahala yang didapat dari memuji ­Allah. Ketika umrah di bulan Ramadan betapa hati ini selalu tertambat dengan Yang Mahakuasa, sehingga muncul ketenangan dan kesenangan.

Kedua, lisanan dzakiran (lidah yang senantiasa zikir). Janganlah sampai lisan kita lalai dari zikir pada Allah. Basahnya lisan dengan zikir yang membuat hati ini hidup. Zikir yang membuat kita semangat mengarungi kehidupan. Zikir kepada Allah yang membuat kita ter­ang­kat dari kesulitan.

Lisan ini diperintahkan untuk berzikir setiap saat. Dari Abdullah bin Busr, ia berkata, ”Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah saw, lalu  salah satu dari mereka bertanya, ’Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?’ ’Yang panjang umurnya dan baik amalannya,’ jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, ’Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.’ ’Hendaklah lisanmu selalu basah untuk ber­zikir pada Allah,’ jawab beliau. ” (HR Ahmad 4: 188, sanad shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Hadis ini menunjukkan zikir itu dilakukan setiap saat, bukan hanya di masjid, sampai di sekitar orang-orang yang lalai dari zikir, kita pun diperintahkan untuk tetap berzikir.

Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud berkata, ”Ketika hati sese­orang terus berzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam salat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk ber­zikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524). Di­nyatakan lebih baik karena orang yang berzikir di pasar berarti berzikir di kala orang-orang pada la­lai. 

Lihatlah contoh ulama salaf. Kata Ibnu Rajab Al Hambali setelah membawakan perkataan Abu Uba­i­dah di atas, beliau mengatakan bahwa sebagian salaf ada yang ber­sengaja ke pasar hanya untuk ber­zikir di sekitar orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Ibnu Rajab pun menceritakan bahwa ada dua orang yang sempat ber­jumpa di pasar. Lalu salah satu da­ri mereka berkata, “Mari sini, mari kita mengingat Allah di saat orang-orang pada lalai dari-Nya.” Mereka pun menepi dan menjauh dari ke­ramaian, lantas mereka pun meng­ingat Allah. Lalu mereka berpisah dan salah satu dari mereka me­ning­gal dunia. Dalam mimpi, salah satunya bertemu lagi temannya. Di mimpi tersebut, temannya berkata, ”Aku merasakan bahwa Allah meng­ampuni dosa kita di sore itu dikarenakan kita berjumpa di pa­sar (dan lantas mengingat Allah).” Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524.

Dalam konteks umrah Ramadan dua hal tersebut sangat mendominasi perasaan setiap jemaah. Selain itu, pembimbing utama Qiblat Tour Islami KH Sodik Mujahid pernah mengingatkan salah satu yang membuat nikmat umrah Ramadan adalah adanya dua ihram, pertama ihram untuk saum dan ke­dua ihram untuk umrah. Kedua ihram itulah yang mampu me­ngon­disikan jemaah untuk senantiasa terjaga dengan qalban syaakiran dan lisaanan dzakiran. Semoga. Aamiin.***

Artikel ini telah diterbitkan di HU Pikiran Rakyat 20-06-2017