Umrah Sebagai Pembelajaran
Asep Ahmad Fathurrohman
Pembimbing ibadah umrah (mursyid) merupakan orang yang senantiasa menemani jemaah mulai dari pemberangkatan, prosesi ibadah dan pemulangan. Ia bertanggung jawab terhadap ibadah umrah, walaupun untuk prosesi ibadah utamanya hanya menghabiskan durasi kurang lebih 12 jam atau hanya 4,61% dari total waktu perjalanan umrah yang rata-rata sembilan hari.
Tanggung jawab ini sangat berat sebab tidak cukup selesai di dunia dengan pulangnya jemaah umrah, tetapi akan dipertanggungjawabkan kembali di akhirat kelak. Tentu hal ini sebanding dengan pahala yang pembimbing peroleh apabila benar-benar bertanggung jawab.
Namun, tantangan yang dihadapi pembimbing umrah tidak hanya masalah ibadah utamanya yaitu prosesi umrah, tetapi lebih dari itu justru 96,39 % tantangan berada pada masalah teknis dan ibadah-ibadah pendukung lainnya.
Ada beberapa jenis pembimbing dipandang dari aspek kebutuhan dan profesionalismenya, antara lain membimbing sebagai profesi utama atau pekerjaan (first job), membimbing sebagai profesi penunjang atau second job, membimbing sebagai kewajiban berdakwah, membimbing sebagai teladan bagi jemaah, membimbing sebagai media pembelajaran, membimbing sebagai penguatan hati, dan membimbing sebagai laboratorium rohani.
Terlepas dari eksistensi berbagai jenis tipe pembimbing tersebut, yang paling penting adalah pembimbing memberikan pelayanan prima terhadap jemaah. Sebab kadang-kadang pembimbing lupa melayani malah justru ingin dilayani jemaahnya. Hal tersebut terjadi karena status sosial pembimbing dibawa terus sepanjang ibadah umrah sehingga sifat ananiah (egoisme), merasa paling hebat dan sebagainya terus terpancar dari dalam hati. Akibatnya menimbulkan kelalaian yang membuat jemaah kecewa.
Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya pembimbing melepaskan gelar dan berbagai status sosial yang menempel di pundaknya. Ia harus berusaha memberikan pelayanan prima sebagai ibadah maksimal melayani tamu Allah, seakan-akan pembimbing adalah pemandu Ilahi yang memandu jemaah untuk mengetahui, memahami dan melaksanakan cara menghadap Allah SWT yang dimanifestasikan dalam manasik umrah.
Oleh karena itu, pembimbing harus memiliki berbagai kompetensi baik yang berhubungan dengan kompetensi utama yaitu kemampuan yang berhubungan manasik umrah dan ibadah-ibadah pendukung lainnya. Begitu juga dengan kompetensi sosial yaitu pembimbing mampu berkomunikasi dengan jemaah dan pihak-pihak yang berkaitan dengan kelancaran umrah seperti petugas imigrasi, bandara, hotel, pedagang dan sebagainya. Sebab sering terjadi salah paham antara jemaah seperti kekeliruan saling tunggu karena kunci kamar hotel terbatas, ketidaksesuaian kebiasaan dan karakter antarjemaah sehingga menyebabkan ketidakharmonisan. Dalam hal ini posisi pembimbing sangat diperlukan untuk mengomunikasikan jemaah tersebut agar terjalin tali persaudaraan yang kuat melalui saling memahami, saling pengertian dan komitmen untuk selalu dalam kebersamaan, sebab perjalanan tersendat karena hanya menunggu seorang jemaah yang terlambat datang. Kompetensi sosial juga diperlukan ketika terjadi keterlambatan baik karena disebabkan kerusakan pesawat atau badai yang tidak menentu. Sementara jemaah menginginkan kepastian pemberangkatan tanpa mau tahu sebab keterlambatan tersebut. Sikap pembimbing untuk mengomunikasikan dengan pihak bandara (manajer) sangat penting agar jemaah dapat memahami situasi dan kondisi yang sedang terjadi.
Selain itu pembimbing harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan kebijakan luar negri negara yang dituju dan kearifan lokal yang mereka miliki. Mengadoptasi kearifan lokal sangat penting agar jemaah mampu menjiwai budaya setempat, sehingga harmonisasi pendatang dan penduduk setempat terjalin.
Dengan demikian ibadah umrah bagi pembimbing berfungsi sebagai pembelajaran bagi dirinya untuk senantiasa memperbaiki diri dari sikap riya, sum'ah dan takabur melalui pelayanan prima karena sejatinya ulama dan umara (termasuk di dalamnya pembimbing) adalah "khadimul ummah" (pelayan umat). Itulah yang senantiasa dilakukan di Qiblat Tour sebagai evaluasi diri demi perbaikan layanan menuju sebaik-baik layanan karena yang dilayani adalah tamu Allah dan Allah SWT lebih mengetahui bagaimana menjamu tamu-Nya.***
Artikel ini telah diterbitkan di HU Pikiran Rakyat 13-12-2016